Jumat, 19 November 2010

Disanapun ada pelajaran berharga

Matahari terik mengiringi langkah Ipin, angin kering bercampur hawa panas berderu pelan menerpa wajahnya yang masih tampak ceria. Siang itu, Ipin akan berpetualang mengelilingi daerah yang lumayan asing baginya. Kali ini dia memilih daerah jatinegara, Jakarta Timur.

Jiwa muda Ipin tidak betah jika hanya diam saja. Kebetulan hari ini dia tidak ada tugas, jadi dia memutuskan untuk melihat realita kehidupan kota yang sebenarnya. Mungkin ipin terinspirasi setelah membaca Novel karya Andrea hirata berjudul edensor. Di dalamnya ada kisah tentang BACKPACKER. Seru, menantang, dan penuh keberanian. Itulah yang ingin dicari ipin.


Hanya sendal jepit, topi, plus tas kosong yang menemani pertualangannya kali ini. Handphone, dompet, dan barang-barang berharga lain dia tinggalkan dikamar kosnya. Dia hanya bermodalkan uang Rp 5.000,-. Sengaja dia melakukannya, karena dia ingin ikut mersakan kerasnya hidup di ibu kota.


Kalau dipikir-pikir, memang kelihatannya Ipin ini kurang kerjaan. Coba bayangkan, hari libur, matahari terik, acara TV bagus, kan mendingan ”hibernasi” di rumah sambil memanjakan badan (tidur), atau dari pada capek-capek jalan-jalan ga jelas, lebih baik main game di kamar. Seru, asyik, dan bisa menghilangkan penat. Mungkin itulah pikiran sebagian besar orang. Awalnya di benak Ipin juga terngiang-ngiang hal seperti itu. Tapi semangat mengalahkan kemalasannya.


Bismillahirrohmanirrohim...
Prok....prok...prok...suara sendal jepit yang beradu gesek dengan aspal jalanan menjadi alunan pengiring langkahnya. Tak lupa untaian senyum manis menghiasi bibir yang langsung dia kirimkan kepada tetaangga-tetangga yang dilalui. 
”Mari Pak!”, 
”Mari Bu!” 
mungkin itulah yang mempererat hubungan silaturahmi Ipin dengan tetanganya. Walaupun tidak kenal namanya, tapi sudah cukup dengan panggilan Pak, Bu, Mas, Dik plus senyum indah dari bibir mungil ini...


Jalanan bising dan berdebu ipin terjang dengan semangat. Deru kendaraan bermotor serta kepulan asap semakin menunjukkan bahwa ini adalah ibu kota penyumbang polusi perusak kelokan anugerah Illahi. Tak terasa sudah setengah jam ipin brjalan kaki, dan hampir 3 kilometer dia tempuh dengan dua kakinya.
Akhirnya tibalah dia di Stasiun Jatinegara. Tempat pertama yang ingin dia kunjungi untuk mencari ilmu kehidupan baru.


Orang berlalu lalang, pedagang asongan berteriak-teriak menawarkan dagangannya, tetapi deru mesin lokomotif dan suara gesekan roda kereta dan rel membungkam semua kebisigan manusia-manusia itu, yang terdengar hanyalah suara kereta yang sangat kencang.

Ipin merasa capek, dari kejauhan dilihatnya ada seorang penjual es. Wah seger banget kalau panas-panas gini bisa minum es. Apalagi di dekatnya ada seorang anak kecil yang juga asyik menenggak es teh dari plastik yang digenggam erat kedua tangannya. Ya Allah nikmat banget es teh itu...


Beli atau tidak ya? Pikir ipin dalam hati. Ah, aku masih bisa tahan. Inikan masih godaan pertama, masih banyak ujian lain menunggu di depan.
Es teh berlalu. Dengan mulut yang kering ipin mencari tempat duduk untuk istirahat.
Diperhatikannya setiap orang yang melntasinya. Orang tua, muda, laki-laki, perempuan, anak sekolah, semua berbaur menunggu kereta. 

Di depan ipin duduk seorang ibu yang sibuk memainkan handphonenya, di sebelahnya ada bapak-bapak yang serius membaca koran yang baru dibelinya dari pedagang asongan yang lewat. Kelihatannya mereka adalah suami istri.


Di ujung tempat duduk ada dua muda-mudi pelajar SMA yang asyik memadu kasih. Dalam hati ipin bingung juga. Kok mereka tidak malu ya, bermesraan di tempat umum. Apa mereka pikir stasiun itu milik mereka, yang lain Cuma numpang!!! Wah, tidak sopan. Mungkin inilah cermin kehidupan ibu kota.


Pikiran nakal ipin ikut andil. Wah, didepanku ada suami istri, di ujung sana ada orang pacaran, ipin lalu menengok ke sampingnya. KOSONG....., tidak ada siapa-siapa. Seandainya ada seorang pendamping di saat seperti ini, pasti bahagia sekali hati ini. Ah, itu hanya lamunan belaka. Segera ipin buang bayangan itu.


Tak lama kemudian datang seorang gadis kecil kira-kira berusia 10 tahun. Tangan kanan menggendong adiknya yang masih bayi dan tangan kiri menggandeng adiknya lagi yang kira-kira berusia 3 tahun. Pakaiannya lusuh, badannya kotor, raut mukanya muram. Sementara, adik yang dalam gendongannya terus menangis. Entah karena lapar, sakit, atau apalah.....ipin tidak tahu.
Kemana ibunya?
Kemana Bapaknya?
Kenapa ketiga anak itu dibiarkan terlantar di tempat seperti ini?
Sungguh kejam dunia ini.


Mereka tidak meminta-minta, mereka tidak mengemis. Mereka hanya bermain-main sambil sesekali memungut botol air mineral yang mereka temukan.


Sambil sesekali menghibur adiknya yang menangis, gadis tadi mencari tempat duduk. Akhirnya direbahkan badannya di tangga jalan yang nota bene sangat kotor. Tidak pantas untuk dijadikan tempat duduk. Aku masih terpaku menatap gadis dan kedua adiknya itu. Aku tak mampu bergerak dan lidah ini kaku. Hanya hati yang masih kuasa untk menyebut keagungan Allah. Tak terasa butir-butir kasih allah menetes dari kelopak mataku. Sadar akan hal itu, langsung kuseka air mataku, aku malu bila dilihat orang-orang disekitarku.


Masih kuperhatikan anak-anak tadi. Gadis kecil tadi memeluk adik bayinya dengan sayang, sambil mendendangkan nyanyian seadanya, dia mencoba untuk menghibur adiknya yang sedang menangis.tangan kanannya juga tak henti-hentinya mengelus-elus kepala adiknya.


Sungguh, pemandangan menakjubkan berupa kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Dia tidak marah ketika adiknya menangis, dia tidak mencaci ketika adiknya rewel, dia tidak putus asa walaupun harus terus menggendongnya. Bahkan, dengan lembut dia mencium pipi mungil adik bayi itu.


Kualihkan pandanganku dari gadis kecil tadi. Kuperhatikan wajah dan raut muka orang-orang sekelilingku. Kurasakan tidak ada respon apa-apa dari mereka. Mereka tetap cuek dan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tak satupun yang menujujkkan sikap kepedulian kepada gadis kecil itu. Ya Allah, inikah sikap hambamu yang mengatakan dirinya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain engkau dan Rasul Muhammad saw sebagai utusanMu.


Mungkin inilah suasana kota besar. Setiap orang sibuk memikirkan nasibnya sendiri tanpa peduli keadaan orang lain. Hatiku tersayat, tidak tega terus-menerus melihat kejadian ini. Akhirnya aku bangkit dari duduk. Kurogoh kantong celanaku sambil berjalan menuju gadis kecil.”Dik, silakan ambil sedikit rezeki ini”. 
"Hanya itu yang bisa  kulakukan."
"Karena hanya itu yang kubawa, uang 5.000 rupiah."
gumam ipin sambil berlalu meninggalkan gadis kecil itu.










based on true story,
dari seseorang

0 komentar:

Posting Komentar